Sungai Musi
dan Kota Palembang
Sungai Musi merupakan salah satu sungai terpanjang di Indonesia. Bagian
hulu sungai terletak di wilayah Pegunungan Bukit Barisan (Bengkulu), dan
bermuara pada Selat Bangka di daerah Sungsang. Sungai ini terbentang dengan
panjang mencapai 750 km dengan wilayah cakupan Daerah Aliran Sungai (DAS)
meliputi empat Provinsi di Sumatera bagian Selatan antara lain: Provinsi
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Jambi. Sungai Musi memiliki banyak
anak sungai. Beberapa diantarnya terkenal dengan julukan Batanghari 9. Julukan
itu ditujukan pada 9 sungai besar yang merupakan anak dari Sungai Musi, yaitu.
Sungai Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Beliti, Lakitan, Leko, dan
Rupit.
Bagi masyarakat Kota Palembang, Sungai Musi merupakan urat nadi
perekonomian, transportasi, sekaligus saksi pertumbuhan dan peradaban kota
sejak awal berdirinya. Saat ini Kota Palembang berstatus sebagai ibukota
Provinsi Sumatera Selatan. Begitupula pada masa Kerajaan Sriwijaya, kota ini
telah menjadi Ibukota Kerajaan sebagaimana tertulis dalam Prasasti Kedukan
Bukit yang di temukan di daerah Bukit Sigungtang, Palembang. Dalam prasasti
tersebut tertulis pada tanggal 17 Juni 683M pasukan Jayanaga (Dapunta Hyang)
pendiri Sriwijaya, berhasil menduduki Palembang (ditetapkan sebagai hari jadi
Kota Palembang) dengan menyusuri sungai dari daerah Minanga menggunakan perahu.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sungai Musi telah memiliki
peradaban sejak masa tersebut (yang diketahui) atau bahkan telah berlangsung
sejak masa sebelumnya. Hingga saat ini, eksistensi Sungai Musi sebagai
prasarana transportasi tidak pernah berkurang, bahkan pemanfaatan sungai
berkembang sebagai sumber perekonomian bahkan lahan pemukiman penduduk.
Dalam catatan Kolonial Belanda, Kota
Palembang mendapat julukan sebagai ‘Venesia Dari Timur’ atau kota air. Hal
tersebut disebabkan oleh jumlah anak sungai yang tersebar di penjuru Palembang
sangat banyak. Dikutip dalam warta Kumparan, Walikota Palembang, Harnojoyo
mengungkapkan bahws terdapat mencapai 316 aliran anak sungai mengalir di Kota
Palembamg pada masa kolonial belanda. Namun pada saat ini tersisa sekitar 95
aliran sungai tersebar di Kota Palembang. Penurunan jumlah aliran tersebut
disebabkan oleh perkembangan pembangunan dengan melakukan penimbunan untuk
mendukung konstruksi bangunan.
Rumah Rakit
Kondisi geografis Kota Palembang yang didominasi oleh lahan rawa dan
aliran sungai menyebabkan masyarakat harus mampu beradaptasi dengan lingkungan
untuk bertahan hidup. Sungai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sarana
transportasi di dalam kota maupun antar daerah (keluar kota). Sungai merupakan
salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat kota ini. Sebagai contoh:
pada masa lalu pernah ada perdagangan terapung di atas sungai.Pemanfaatan aliran sungai tidak hanya sebatas keegiatan perekonomian dan
sarana transportasi, sungai di Kota Palembang juga dimanfaatkan sebagai lahan
untuk mendirikan bangunan tempat tinggal (tempat bermukim). Pemilihan lokasi
rumah dan arsitektur bangunan juga mempertimbangkan pengaruh lingkungan
terhadap bagunan yang akan ditempati. Salah satunya adalah lokasi yang tidak
rawan binatang buas seperti buaya, biawak, dan ular, lokasi dengan arus deras
maupun turbulensi air yang tinggi, keberadaan sumber makanan, serta lokasi yang
tidak terdampak oleh potensi pencemaran. Dengan kata lain, kondisi alam akan
mempengaruhi secara langsung terhadap perilaku manusia yang menetap pada
wilayah tersebut.
Rumah rakit merupakan salah satu rumah adat tradisional di kota Palembang
yang mungkin telah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Rumah rakit adalah
identitas bagi masyarakat Palembang yang hidup menetap secara terapung diatas
sungai. Awalnya, rumah rakit ditempati oleh warga asing (orang China) yang
menetap sebagai pedagang. Sungai Musi
merupakan kawasan yang banyak ditemukan keberadaan rumah unik ini. Rumah ini didirikan diatas sebuah rakit yang
mengapung diatas badan sungai. Rakit yang merupakan konstruksi utama bangunan terbuat
dari bambu maupun yang terbuat dari balok-balok kayu dengan atap nipah, alang-alang
(ijuk) yang diikat dengan tali rotan. Bahan tersebut digynakan untuk mengurangi
beban rumah agar dapat mengapung dengan baik. Namun dengan kemajuan peradaban
di masyarakat, belakangan ini atap rumah terbuat dari bahan seng, hal tersebut
lebih dipilih oleh masyarakat karena seng memiliki ketahanan yang lebih lama,
serta bobot bahan yang tergolong ringan.
Letak rumah yang berada pada badan sungai ini bisa dipahami karena
kehidupan masyarakat yang tidak pernah terlepas dari sungai. Pintu pada rumah
rakit bisanya ada dua, satu menghadap ke sungai dan yang satunya lagi menghadap
ke daratan. Jendelanya, biasanya, berada pada sisi kiri dan kanan dinding rumah
Rakit, tetapi ada juga yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk rumah.
Rumah Rakit bukan sekadar hunian darurat. Sejumlah rumah Rakit merupakan
warisan lintas generasi yang tahan dihuni puluhan tahun, meskipun bambu yang
mendasari Rakit dan tiang penambat perlu diganti secara periodik. Agar bangunan
rumah Rakit tidak berpindah-pindah tempat, keempat sudutnya dipasang tiang yang
kokoh. Ada kalanya untuk memperkokoh posisi dari rumah Rakit, bangunan diikat
dengan menggunakan tali besar yang terbuat dari rotan dan diikatkan pada sebuah
tonggak kokoh yang ada di tebing sungai.
Akses full Pdf???