Latar
Belakang Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 november 1945,
pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di
Sumatera Utara yang dikuti oleh pasukan NICA. Brigadir ini menyatakan kepada
pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan, mengevakuasi tawanan dari
beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengah dalih menjaga keamanan, para bekas
tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai
Latar belakang pertempuran Medan
Area, antara lain:
1) Bekas
tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
2) Ulah seorang
penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak lencana merah putih.
3) Ultimatum
agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
4. Pemberian
batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan memasang papan pembatas
yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan Area (Batas Resmi Medan Area)” di
sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara
pemerintah Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan
yang terkenal dengan nama civil Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini
disebutkan bahwa panglima tentara pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang
kekuasaan atas nama pemerintah Belanda.
Dalam melaksanakan hal-hal yang
berkenaan dengan pemerintah sipil, pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA
dibawah tanggungjawab komando Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari
akan dikembalikan kepada Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk
memasuki berbagai kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah
satu kota yang akan didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda
adalah Medan.
Sementara di tempat lain pada
tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang
dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Mengggapi berita
proklamasi para pemuda dibawah pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda
Indonesia.
Pada tanggal 9 Oktober 1945 rencana
dalam Civil Affairs Agreement benar-benar dilaksanakan. Tentara Inggris yang
diboncengi oleh NICA mendarat di Medan. Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D
Kelly.
Awalnya mereka diterima secara baik
oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk
membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di hotel
Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945.
Saat itu seorang penghuni hotel
(pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai
pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi
perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Pada
tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan
Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut kota Medan.
Sejak saat itulah Medan Area menjadi
terkenal. Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur
Republik yang berada di kota Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi
para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara
komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut
memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat
Medan Area.
Pada tanggal 10 desember 1945,
Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan.
Serangan ini menimbulkan banyak koraban di kedua belah pihak. Pada bulan April
1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.
Untuk melanjutkan perjuangan di
Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan
Area. Komandan initerus mengadakan serangan terhadap Sekutu diwilayah Medan.
Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakayat terhadap Jepang,
Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lian di Pandang, Bukit
tinggi dan Aceh.
Jalannya
Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area dimulai dari
bentrokan tanggal 13 Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris
sampai di Medan, meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda
revolusioner dengan pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya
provokasi langsung seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana
merah putih (sudah disebutkan di bagian sebelumnya) yang tersemat di peci
seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama Pension Wilhelmina,
Jalan Bali (sekarang Jalan Veteran). Ratusan pemuda yang berada ditempat itu
menyerang serdadu itu dengan senjata pedang, pisau, bambu runcing, dan
beberapa senjata api. Dalam peristiwa itu timbul korban sebagai berikut : 1
orang opsir yaitu Letnan Goeneberg dan 7 orang serdadu NICA meninggal.
Beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal, dan 96 orang serdadu NICA luka-luka
termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 orang wanita. Di pihak Indonesia gugur
1 orang (menurut prasasti yang didirikan 7 orang) dan luka berat satu orang.
Lokasi pertempuran saat ini berada dekat dengan Pusat Pasar.
Peristiwa Jalan Bali itu segera
tersiar ke seluruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara
dan menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa perjuangan menegakkan
proklamasi telah dimulai. Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus
ditumpahkan demi Revolusi Nasional. Akibatnya dengan cepat bergelora semangat
anti Belanda di seluruh Sumatera Timur. Diantara pemuda itu adalah Bedjo, salah
seorang pemimpin laskar rakyat di Pulo Brayan. Bedjo bersama pasukan selikurnya
pada tanggal 16 Oktober 1945, tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi
peristiwa Siantar Hotel, menyerang gudang senjata Jepang di Pulo Brayan
untuk memperkuat persenjataan. Setelah melakukan serangan terhadap gudang
perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan pasukannya kemudian menyerang Markas Tentara
Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo Brayan. Dalam pertempuran yang
berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang Helvetia berhasil
menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan yang dilakukan oleh para pemuda
di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka
mulai sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah memiliki persenjataan dan
semangat kemerdekaan yang pantas diperhitungkan.
Sementara itu, di simpang Jalan Deli
dan Jalan Serdang yang sekarang disebut Jalan Perintis Kemerdekaan, pecah
bentrokan lain. Bentrokan pecah di sebuah masjid di sana. Para pejuang yang
dipimpin Wiji Alfisa dan Zain Hamid bertempur dengan tentara Inggris pada 17
Oktober 1945. Mereka berhasil bertahan dari gempuran Inggris hingga pada 20 Oktober
1945, Inggris memutuskan untuk menghancurkan masjid tempat mereka bertahan.
Setelah perang, masjid lain dibangun diatasnya untuk mengenang perjuangan
mereka. Masjid itu dinamai Masjid Perjuangan 45.
Oleh karena itu sebagai tentara yang
ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Komandan Inggris Brigadir
Jenderal TED Kelly pada tanggal 18 Oktober 1945 mengeluarkan sebuah ultimatum
yang berbunyi sebagai berikut, bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa
senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong dan
sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada
para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya
kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus menyerahkan semua daftar senjata api
yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan
Inggris kemudian melakukan penggerebekan di dalam kota Medan dan sekitarnya.
Dalam penggerebekan itu mereka berhasil mendapatkan 3 pistol, 1 senapan, 1
granat kosong, 2 ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki,
36 pedang, 10 pisau, 4 denator listrik, dan 6 tombak.
Sejak tentara Inggris melakukan
razia di sekitar Medan, kecurigaan masyarakat terhadap Inggris bertambah besar.
Patroli tentara Inggris sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung
Morawa, Saentis, bahkan ada serdadu-serdadu dan perwira Inggris yang
berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan dan Belawan. Di samping itu Komandan
Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral Chambers, menegaskan bahwa Pasukan Jepang
diberikan kekuasaan untuk mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit
Tinggi, dan Palembang. Kondisi itu akhirnya menimbulkan konflik bersenjata
dengan para pemuda Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar
Rakyat.
Demikianlah pada tanggal 2 Desember
1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang mencuci trucknya di Sungai dekat
Kampung Sungai Sengkol telah diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris itu
tewas, dua buah senjata dan trucknya dirampas. Dua hari kumudian, seorang
perwira Inggris tewas terbunuh di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan
Inggris terus melakukan patroli di sekitar Medan, dan mereka mulai bertindak
kasar. Pada tanggal 6 Desember 1945, tentara Inggris datang mengepung Gedung
Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua filem di gedung
tersebut. Tindakan tentara Inggris itu menyebabkan para pemuda segera
mengepung gedung bioskop itu, sehingga timbullah pertempuran kecil, yang
berakhir dengan tewasnya seorang tentara Inggris.
Beberapa jam setelah peristiwa
“Oranje Bioscop”, markas Pesindo di Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal
Pesindo di sekolah Derma dirazia oleh tentara Inggris. Di sepanjang Jalan
Mahkamah dan Jalan Raja, tentara Inggris melakukan show of force. Tidak lama
sesudah itu, markas TKR di bekas restoran Termeulen diobrak-abrik dan
penghuninya diusir oleh tentara Inggris. Pada malam harinya para pemuda dan
anggota TKR menyerang gedung itu dengan granat botol, sehingga gedung itu
terbakar. Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di
mana-mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR.
Akibat serangan itu tentara Inggris/NICA pada tanggal 10 Desember 1945
menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir
Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar Bangsa
Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan barang siapa
memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas kota Medan dan
Belawan akan ditembak mati.
Untuk menindaklanjuti intruksi itu
pada bulan Maret 1946 pasukan Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke
basis-basis laskar rakyat di sekitar Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Laskar
Napindo yang berada berada di daerah ini kemudian mencegat pasukan Inggris
sehingga terjadi baku tembak. Pertempuran kemudian berkobar selama dua
hari dan akhirnya pasukan Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa.
Namun demikian pasukan sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya
pada pertengahan April 1946, Markas Divisi IV berserta seluruh stafnya dan
Kantor Gubernur Sumatera dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang
Siantar.
Sejak pindahnya Komando Militer dan
Pemerintahan Republik ke Pematang Siantar pasukan Inggris setiap hari
melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI dan Laskar Rakyat di sekitar Medan Area.
Pada akhir bulan Mei, selama satu minggu mereka menggempur habis
kampung-kampung di sekitar kota Medan. Akibat serangan itu tentu saja membuat
penduduk sipil mengungsi ke luar kota, seperti ke Tanjung Morawa, Pancur Batu,
Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan sebagainya. Kampung-kampung
seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara, Jl. Japaris, Kota Maksum,
Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai Mati, Kampung Baru, Padang
Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar, Kampung Sekip, Glugur, dan sebagainya
menjadi sepi. Meskipun demikian Inggris tidak leluasa bergerak ke luar kota,
karena laskar rakyat dan TRI siap menghadangnya.
Sampai akhir bulan Juli 1946 pasukan
republik yang bertempur di Medan Area bergerak tanpa komando. Karena itu pada
bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area
(K.R.L.R.M.A.). Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan
Kepala Staf Umum. KRLMA membawahi laskar Napindo, Pesindo, Barisan Merah,
Hisbullah, dan Pemuda Parkindo. Setiap pasukan disusun dalam formasi batalion
yang terdiri dari empat kompi. Medan Area dibagi dalam empat sektor dan
tiap sektor terdiri atas dua sub-sektor. Markas Komando ditempatkan di Two
Rivers (Treves).
Dalam pada itu Belanda mulai
mengarahkan kekuatan militernya ke Sumatera dalam rangka mengamankan sumber
ekonomi yang vital di Sumatera Timur. Untuk itu, maka pada awal bulan
Oktober 1946 satu batalion pasukan bersenjata dari negeri Belanda mendarat di
Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan satu batalion KNIL dari Jawa
Barat. Gerakan militer pasukan Belanda ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya
rencana Inggris yang ingin secepatnya meninggalkan Indonesia. Semua instasi
penting yang ada di Medan Area segera diserahkan kepada Komandan Militer
Belanda. Pasukan Belanda kemudian mengambil alih semua tugas penyerangan
terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan Area. Unit-unit militer
Republik, baik TRI maupun laskar rakyat segera bereaksi menanggapi pengambilalihan
Belanda dan mulai meningkatkan serangannya terhadap patroli-patroli Belanda
maupun Inggris. Hingga akhir tahun 1946, berbagai bentrokan fisik antara
kekuatan militer Republik dengan Belanda terus terjadi di segala front Medan
Area.
Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah
dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941 disetujui untuk mengadakan serangan bersama.
Sasaran yang akan direbut di Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah.
Di Medan barat ialah Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan
selatan adalah kota Matsum yang akan jadi sasarannya. Rencana gerakan
ditentukan, pasukan akan bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan. Hari
"H" ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB, sasaran pertama
Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari "H", batalyon A
resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar Tiga bagian
Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota Matsum dan menduduki
Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat batalyon 2 resimen laskar rakyat
dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki Jalan Pringgan, kuburan China dan
Jalan Binjei.
Patut diketahui, bahwa beberapa
waktu yang lalu, pihak Inggris telah menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
Belanda. Pada saat sebagian pasukan Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan
digantikan oleh pasukan Belanda, pasukan kita menyerang mereka. Gerakan-gerakan
batalyon-batalyon resimen Laskar Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak
Inggris/Belanda. Daerah Medan Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan
kita membalas tembakan dan berhasil menghentikannya.
Peran Para
Pemuda dalam Pertempuran Medan Area
Para pemuda memegang peran penting
dalam banyak peristiwa bersejarah negara ini. Sebut saja, Proklamasi
Kemerdekaan, Pertempuran Surabaya, hingga Reformasi. Di Pertempuran Medan Area
ini juga, peran pemuda sangat kentara dalam setiap pertempuran.
Di awal bagian jalan pertempuran
sebelumnya, terdapat kisah mengenai insiden Jalan Bali. Jika ditilik pada
prasasti penanda yang didirikan, nampak bahwa para pemuda lah yang melakukan
penyerbuan ke markas NICA di Gedung Pension Wilhelmina. Selain itu, berbagai
laskar rakyat yang ada dibentuk oleh pemuda seperti Pemuda Republik Indonesia
Sumatera Timur (Pesindo). Ada juga organisasi pemuda yang terafiliasi ke partai
seperti Napindo (Nasional Pelopor Indonesia) dari PNI, Barisan Merah dari PKI,
Hisbullah dari Masyumi dan Pemuda Parkindo dari Parkindo. Selain itu, banyak
dari tokoh pejuang yang berusia dibawah 30 tahun. Contohnya, Brigjend. Bedjo
dan Jend. Ahmad Tahir, 2 tokoh pejuang yang terlibat dalam Pertempuran Medan
Area yang saat itu terjadi, umur mereka masih dibawah 30 tahun.
Ketika pertempuran yang terjadi
belum terorganisir dengan baik pada tahun 1945 – 1946, para pemuda selalu yang
berada di garis depan dan bertempur dengan heroik melawan Belanda. Semangat
para pemuda pulalah yang sering membuat Sekutu – baik Inggris maupun Belanda –
kerepotan.
Apa yang membuat pemuda pejuang saat
itu begitu kuat dan sulit dilawan penjajah ? Menurut saya, itu semua akibat
jiwa nasionalisme dan darah muda mereka. Jiwa nasionalisme mereka membuat
semangat mereka menggelora untuk membela negerinya, dan darah muda mereka
menambah semangat tersebut dan membuat mereka semakin nekat.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa peran pemuda dalam Pertempuran Medan Area adalah :
1) Ikut serta
dalam setiap pertempuran yang terjadi
2) Pengobar
semangat rakyat untuk bertempur mempertahankan negaranya
3) Ujung tombak
bagi setiap kekuatan pasukan Republik Indonesia
Ringkasan
Kronologi
Tokoh-tokohnya : Brigjen
T.E.D. Kelly dan Achmad Tahir
Sebab
meletusnya : Tawanan perang yang dibebaskan sekutu dipersenjatai
& bersikap congkak
sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa
tempat.
Jalannya
Peristiwa :
Pd tgl 18 Okt 1945, Sekutu
mengultimatum rakyat Medan untuk menyerahkan senjatanya. NICA melakukan aksi
teror yg menyebabkan pecahnya pertempuran shg banyak korban di pihak Inggris.
Tgl 1 Des 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed
Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Pada
bulan April 1946 pasukan Sekutu berhasil mendesak pemerintah RI keluar Medan.
Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang
berada di kota Medan. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR
untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali.
4 Akhir
Peristiwa :
Pada tgl 10 Agustus 1946 di
Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang
di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang
bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando tersebut
meneruskan perjuangan di Medan Area.
Akibat
Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area berakhir pada
15 Februari 1947 pukul 24.00 setelah ada perintah dari Komite Teknik Gencatan
Senjata untuk menghentikan kontak senjata. Sesudah itu Panitia Teknik genjatan
senjata melakukan perundingan untuk menetapkan garis-garis demarkasi yang
definitif untuk Medan Area. Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal
10 Maret 1947 itu, ditetapkanlah suatu garis demarkasi yang melingkari kota
Medan dan daerah koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai
oleh tentara Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik
seluruhnya adalah 8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulailah pemasangan
patok-patok pada garis demarkasi itu. Akan tetapi kedua pihak, Indonesia dan
Belanda, selalu bertikai mengenai garis demarkasi ini. Empat bulan setelah
akhir pertempuran ini, Belanda melaksanakan Operatie Product atau disebut
Agresi Militer Belanda I.
Ada beberapa akibat dari Pertempuran
Medan Area ini, yaitu :
1) Terbaginya
kawasan Medan oleh garis demarkasi
2) Perpindahan
pusat pemerintahan Provinsi Sumatera ke Pematang Siantar
No comments:
Post a Comment